Dalam tataran global, hak-hak asasi manusia paling tidak dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu HAM yang masuk dalam
1) kategori hak-hak sipil dan politik;
2) kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; serta
3) kategori hak-hak solidaritas (solidarity rights).
Hak-hak sipil dan politik sering pula disebut sebagai “first generation of rights”, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai “second generation of rights”, sedangkan hak-hak solidaritas merupakan “the third generation of rights”.
Hak-hak sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR (Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, disingkat DUHAM) dan dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik). Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam beberapa pasal DUHAM, dan diatur secara khusus dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sedangkan hak-hak solidaritas, utamanya hak atas pembangunan, tercantum dalam Resolusi Majelis Umum PBB, tahun 1986, dan kemudian dalam Deklarasi HAM Dunia di Wina, tahun 1993.
Kiranya sejak awal perlu dikemukakan bahwa penggolongan atau kategorisasi seperti yang dikemukakan di atas tidaklah bermaksud untuk mengkotak-kotakan HAM, apalagi mengkotak-kotak sesuai dengan urutan prioritas. Kategori-kategori sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya antara hak-hak sipil di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di lain pihak sebenarnya merupakan akibat dari polarisasi politik dunia ketika dua instrumen HAM (ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh PBB. Kalau kategori-kategori itu masih digunakan, tidak lain hanyalah untuk keperluan praktis demi lebih mudah mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi yang melekat pada manusia itu, bukan untuk memisah-misahkan satu dengan yang lainnya, karena sebagaimana akan dikemukakan kemudian, semua HAM itu tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung.
Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum yang bersifat global yang mengatur dan menjamin penghormatan dan penegakan HAM sebenarnya terutama lahir dari kesadaran historis akibat Perang Dunia II. Tragedi kemanusiaan, terutama pengabaian terhadap nilai-nilai HAM yang paling mendasar yang terjadi selama Perang Dunia II, menghentakkan kesedaran bangsa- bangsa di dunia, bahwa persoalan HAM tidak bisa diserahkan atau dianggap sebagai masalah internal suatu negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat manusia dan langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu “diangkat” menjadi masalah yang harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa, baik dalam hal penghormatan dan pemenuhannya maupun dalam hal penegakannya. Hal ini terefleksi dalam beberapa pasal Piagam PBB, yaitu dalam pasal 1 ayat (3), pasal 55 dan pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini sekaligus memberikan mandat kepada PBB untuk membuat instrumen-instrumen hukum HAM, mulai dari DUHAM, lalu disusul ICCPR dan ICESCR, dan kemudian banyak lagi instrumen hukum lain di bidang HAM.
Hak-hak sipil terkait dengan “hak atas integritas/harkat fisik” (physical integrity rights), seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan dan hak atas “prosedur hukum yang adil” seperti hak atas peradilan yang jujur dan fair, praduga tidak bersalah, dan hak untuk diwakili secara hukum). Hak-hak ini diatur dalam pasal 1 sampai pasal 18 DUHAM, dan diatur lebih lanjut dalam ICCPR). Hak-hak politik termasuk kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, dan hak untuk memberikan suara dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak-hak ini diatur dalam Pasal 19 sampai pasal 21 DUHAM dan pasal
18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR.
Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur dan dijamin di dalamnya sering juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya bahwa untuk menjamin terlaksana dan dipenuinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diatur di dalamnya, maka negara dituntut untuk tidak melakukan intervensi apa pun, atau peran negara harus dibatasi sampai ke tingkat minimal. Intervensi atau pembatasan oleh negara terhadap hak-hak yang diatur dalam ICCPR ini hanya dimungkinkan untuk beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat.
Berkaitan dengan hal di atas maka dikenal pula pembedaan antara non- derogable rights (hak-hak yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan derogable rights (hak-hak yang bisa dikurangi pemenuhannya). Non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dibaikan, dilanggar atau dikurangi pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat sekali pun. Termasuk dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup (rights to life); hak bebas dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free from torture and inhuman treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi; hak untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa (rights to be free from slavery); hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum; hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama; hak untuk bebas dari pemidanaan yang berlaku surut. Bila negara melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang termasuk dalam kategori non- derogable ini, negara itu bisa dituduh atau dikecam telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights).
Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Namun pembatasan atau pengurangan tsb hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman atau situasi darurat yang dihadapi dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Alasan-alasan untuk pengurangan atau pembatasan tersebut, meliputi: 1) menjaga kemananan atau ketertiban umum; 2) menjaga kesehatan atau moralitas umum; dan 3) menjaga hak dan kebebasan orang lain. Hak-hak yang termasuk dalam kategori ini terdiri atas: 1) hak atas kebebasan berkumpul; 2) hak untuk berserikat; 3) kekebasan untuk berpendapat dan berekspresi; 4) kebebasan berpindah dan memilih domisili; 5) kebebasan bagi warga negara asing.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan material, sosial dan budaya, dan mula-mula diatur dalam pasal 16, 22 sampai pasal 29 DUHAM, dan lebih lanjut diatur dalam ICESCR. Hak-hak yang termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial dan budaya ini, meliputi: hak untuk bekerja termasuk hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil, bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak atas pemilikan, hak untuk mendirikan dan bergabung dengan serikat pekerja, termasuk hak untuk melakukan pemogokan, hak atas jaminan sosial, hak atas standar hidup yang layak, hak atas pendidikan, pendidikan dasar wajib dan bebas bagi semua, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan penikmatan keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan. Hak-hak ini sering disebut sebagai “hak-hak positif”, karena tidak seperti dalam hak-hak sipil dan politik, dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini, negara harus berperan atau mengambil langkah-langkah positif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya perumahan, sandang, pangan, lapangan kerja, pendidikan, dsb. Negara justru akan dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran minus.
Dalam beberapa tahun terkahir, hak-hak solidaritas (solidarity rights) diakui keberadaannya, meliputi hak atas perdamaian, hak atas lingkungan, dan hak atas pembangunan. Hak atas pembangunan, khususnya, telah dicantumkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1986. Hak atas pembangunan bisa didefinisikan sebagai “hak setiap orang dan setiap bangsa untuk berpartisipasi,
memberikan kontribusi dan memperoleh manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Jadi, subjek hak ini adalah individu dan bangsa.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar