Sebanyak apa pun kritik yang diarahkan pada kurang demokratis dan kurang berkualitasnya
pemilu 1999, tidak dapat memungkiri bahwa
pemilu 1999 adalah salah satu tonggak sejarah politik Indonesia. Terselenggaranya
pemilu 1999 adalahsebuah bukti yang paling nyata atas penolakan bangsa ini terhadap berlakunya sistem lama di bawah kendali Soeharto. Sebab, dengan adanya
pemilu
1999 berarti semua hasil proses politik pada tahun 1997, yang seharusnya baru akan berakhir tahun 2002, sama sekali tidak diakui keabsahannya, baik secara legal formal maupun substansi demokrasi.
Dengan adanya percepatan
pemilu ini berarti bukan hanya ada pergantian total keanggotaan di MPR/DPR, melainkan juga harus segera digantinya pejabat Presiden yang pada masa itu dipegang oleh BJ Habibie. Sebelum menyelenggarakan
pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang
Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draf UUini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid.
Setelah disyahkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, mulailah babakbaru dalam dunia politik di Indonesia. Pada waktu itu sebanyak 141partai politik terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM yang akhirnya yang dilegalisasi sebanyak 48 partai.Persiapan
pemilu ini relatif sangat singkat, yaitu selama 13 bulan. Singkatnya persiapan ini bukan dilihat dari rentang waktu yang adamelainkan dilihat dari berbagai gejolak sosial politik yang terjadi yang juga menghabiskan konsentrasi seluruh elemen bangsa.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada
pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata
pemilu 1999 bisa berjalan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itupun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara (Fadillah Putra, 2003:88).
Tidak seperti pada proses pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politikmenolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: PK, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, PartaiKAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, PartaiSUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPI, PUMI, PSP, dan PARI (Fadillah Putra, 2003:88). Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan kelompok kerja PPI menunjukkan bahwa partai Islam yang melakukan stembus accoord (penggabungan sisa hasil suara dari beberapa partaiyang platfomnya relatif sama) hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPItersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaanpendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekalkeputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1
September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partaibesar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11. 329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding pemilu 1997 (Fadillah Putra, 2003:91).
Share this :
0 Komentar
Penulisan markup di komentar