Pengertian dan Pentingnya Pendidikan Multikultural

03.27



Bangsa Indonesia memiliki ciri multi etnis dan multikultural namun sudah tidak memiliki lagi norma fondamental dari nilai-nilai kehidupan bersama, sementara  pengaruh  global  semakin  kuat  menerpa  bangsa,  akibatnya  integrasi antar etnis semakin pudar dan runtuh. Terjadi konflik antar etnis seperti di Sampit antara  Suku Dayak  dan  Madura,  Tantena  dan  Poso antarta  Islam  dan  Kristen, Konflik Ambon, sparatisme Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan (RMS) Baru, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah berdamai. Konflik SARA seperti kasus Achmadiah, konflik anti China dan perusakan, pembakaran dan penutupan tempat-tempat ibadah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan ideologi, nasionalisme, wawasan kebangsaan, terlebih lagi perkembangan politik Indonesia yang semakin jauh dari wawasan kebangsaan dan etika politik sebagaimana terkandung dalam filsafat bangsa karena akibat tekanan globalisasi (Kaelan, 2006:1).
Pancasila secara yuridis formal dijadikan dasar negara dan pandangan hidup, namun kenyataannya bangsa Indonesia belum melaksanakan nilai-nilai Pancasila baik secara obyektif dan sobyektif secara konsekwen. Pancasila hanya sebagai wacana; Pancasila mengajarkan nilai persatuan dan kesatuan, namun yang terjadi justru perpecahan. Pancasila menghendaki keadilan dan pemerataan hasil, namun yang terjadi justru mementingkan diri sendiri dan KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) menggurita. Pancasila mengajarkan toleransi antarumat beragama, namun yang terjadi adalah eksklusifisme, dan menguatnya ikatan primordial. Pancasila menghendaki sosialisasi demokrasi, namun yang muncul adalah penindasan orang-orang lemah dan proses marginalisasi. Pancasila menghendaki terjadinya kemanusiaan universal, namun yang terjadi sebaliknya egoisme, vandalisme (Sujati, 2006: 2).
Disisi lain terjadinya konflik karena lemahnya atau kurangnya pendidikan multikultural sehingga setiap etnis, setiap kelompok merasa diri memiliki wewenang untuk menghakimi, menghukum kelompok yang berbeda dengan dirinya atau menganggap kelompok lain sebagai musuh yang harus dinihilkan. Keadaan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan demokrasi untuk  mewujudkan  Masyarakat  Sipil  (Civil  Society)  atau  dalam  Masyarakat Terbuka (“Open Society”) masyarakat dikondisikan untuk membuka diri dengan perubahan sesuai dengan jiwa zaman yang selalu berubah untuk mencari kesempurnaan.
Dalam kondisi di atas untuk menghadapi konflik dan perubahan sosial diperlukan pendidikan multikultural agar setiap kelompok etnis, kelompok kepentingan tidak melakukan tindakan distruktif terhadap kelompok lain sehingga diharapkan dapat meredam konflik-konflik yang berbau SARA (Suku antar Golongan Ras dan Agama).
Istilah multikultural secara marak digunakan sekitar tahun 1950 di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictonary, istilah multikultural diambil dari surat kabar yang terbit di Kanada yang menggabarkan sebuah masyarakat Montreal Kanada sebagai masyarakat yang multikultural dan multi bahasa.
Sedangkan   Istilah   pendidikan   multikultural   secara   sederhana   adalah pendidikan  tentang  keragaman  kebudayaan  dalam  merespon  perubahan demografis dan kultural lingkungan bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan pendapat Paulo Freire yang dikutip oleh Endah Setiorini:   ―bahwa pendidikan bukan  merupakan  menara  gading,  yang  menjauhi  realitas  sosial- budaya melainkan harus mampu meciptakan tatanan masyarakat yang berpendidikan, berbudaya dan mengedepankan nilai-nilai eqalitarian, demokrasi, kebebasan dan persaudaraan.(Endah Setiarini, 2006: 2).
Pendidikan  multikultural  merupakan  respon  dari  keragaman  populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok etnis. Pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan. Sedangkan secara luas pendidikan multicultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok, baik gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikanyang secara menyeluruh membongkar kekurangan dan kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikanPendidikan  multikultural  didefinisikan  tentang  pendidikan keragaman budaya dalam perubahan demografis dan budaya masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru, pendekatan pendidikan multikultural dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogin dan multi etnis. Apalagi pada masa era otonomi daerah dimana konsep sentralisasi bergeser ke desentralisasi dalam kebijakan-kebijakan tertentu. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembagan demokrasi yang sedang dijalankan sekaligus sebagai penyeimbang terhadap kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila kebijakan pendidikan multi  kultural  dialaksanakan  dengan  sembrono  dan  tidak  hati-hati  justru  akan
menyebabkan  kedalam  perecahan  nasional  dan  disintegrasi  bangsa  (Aprellina
Setyawati, 2005: 12).




Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © 2015 Simple SEO ✔