Setiap negara berhak menentukan asas yang mana yang hendak dipakai untuk menentukkan siapa yang termasuk warga negara dan siapa yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau pertentangan hukum.
Misalnya, di negara A dianut ius soli sedangkan negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride timbul manakala menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.
Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili ataupun bahkan oleh yang bersangkutan sendiri, keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau pun bagi yang bersangkutan itu sendiri. Misalnya, yang bersangkutan sama-sama dibebani kewajiban untuk membayar pajak kepada kedua-dua negara yang menganggap sebagai warga negara itu. Ada juga negara yang tidak menganggap hal ini sebagai persoalan, sehingga menyerahkan saja kebutuhan untuk memilih kewarganegaraan kepada orang yang bersangkutan. Di kalangan negara-negara yang sudah makmur, dan rakyatnya yang sudah rata-rata berpenghasilan tinggi, maka tidak dirasakan adanya kerugian apapun bagi negara untuk mengakui status dwi-kewarganegaraan itu. Akan tetapi, di negara-negara yang sedang berkembang, yang penduduknya masih terbelakang, keadaan bipatride itu sering dianggap lebih banyak merugikan.
Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. Kedua keadaan itu, yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami oleh Indonesia. Sebelum ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan Republik Rakyat Cina (RRC), sebagian orang-orang Cina yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan dari Republik Rakyat Cina yang berasas ius sanguinis, tetap dianggap sebagai warga negara RRC. Sebaliknya, menurut Undang-undang tentang Kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu, orang Cina tersebut sudah dianggap menjadi warga negara Indonesia. Dengan demikian terjadilah keadaan bipatride bagi orang Tionghoa yang bersangkutan.
Di lain hal, ada pula sebagian orang-orang Tionghoa yang oleh pemerintah RRC dianggap pro kaum nasionalis Kuomintang tidak diakui sebagai warga negaranya. Sedangkan, Taiwan yang dianggap sebagai negara kaum nasionalis itu tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Oleh sebab itu, mereka juga diakui oleh Taiwan sebagai warga negaranya, sehingga mereka tidak mempunyai status sama sebagai warga negara mana pun juga, dan dapat disebut defacto apatride. Keadaan semacam ini tentu harus diatasi, apalagi, dalam pasal 28D ayat (4) UUD 1945 dengan tegas dinyatakan, “Setiap orang berhak atas status kewargangeraan”.
Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan dengan cara menutup kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan undang-undang tentang kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride, pasal 7 Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 menentukkan bahwa seseorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan pernyataan dan dengan syarat harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya. Demikian pula, untuk mencegah kemungkinan apatride. Undang-undang termasuk dalam Pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui, adalah warga negara Indonesia.
Seandainya ketentuan ini tidak ada, maka niscaya kelak anak itu akan menjadi apatride karena tidak diketahui siapa orang tuanya, sehingga sulit untuk menentukan status kewarganegaraannya. Dengan dua contoh ini jelaslah bahwa setiap undang-undang tentang kewarganegaraan dapat mencegah timbulnya keadaan bipatride dan apatride. Persoalannya sekarang bagaimana kalau bipatride telah terjadi di Republik Indonesia sebelum tahun 1955, di mana pada waktu itu orang-orang Cina karena peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu dapat dianggap sebagai warga negara republik Indonesia, sedangkan dalam keadaan yang bersamaan Republik Rakyat Cina tetap pula beranggapan bahwa orang- orang Cina tersebut adalah warga negaranya.
Pemecahan atas permasalahan ini adalah tidak mungkin lain dari pada membuka kemungkinan perundingan langsung di antara negara-negara yang bersangkutan. Oleh karena itulah pada tanggal 22 April 1955 telah ditandatangani masing-masing oleh Menteri luar Negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina yang dikenal sebagai Perjanjian Soenario-Chou. Pejanjian inilah yang kemudian dituangkan menjadi Undang-undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian Antara Republik Indonesia dengan RRT mengenai Soal Dwikewarganegaraan. Dalam perjanjian itu ditentukkan bahwa kepada semua orang Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan tegas dan tertulis, apakah akan menjadi warga negara Republik Indonesia atau tetap berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Dengan demikian, terpecahkanlah masalah dwi-kewarganegaraan yang pernah timbul antar RRC dan RI di masa lalu. Dalam konteks UU No. 12. Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal adanya kewarganegaraan bipatride ataupun apatride. Kewarganegaraan ganda merupakan pengecualian.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar