Penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak pemilu nasional pertama pada tahun 1955 sampai dengan pemilu 1999telah menandai suatu tahapan penting dalamsejarah demokratisasi di tanah air ini. Ada pasang surut pelibatan warga negara dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu 1955yang didasarkan pada UU No.7 Tahun 1953 berjalan demokratis serta relatif aman dan damai. Salah satu kuncinya adalah diwakilinya semua partai di dalam badan penyelenggara pemilu. Walaupun secara formal, UU No. 7/1953 sama sekali tidak menyebut secara spesifik keterlibatan warga negara dalam badan penyelenggara dan pengawas pemilu, tetapi warga negara lewat partai politik dapat mengimbangi pemaksaan kehendak oleh pejabat lokal, dengan usaha partai-partailain yang melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi atau kepada wartawan (Sunarso, 2003:3).
Pemilu selama rezim Soeharto, yang dikenal dengan istilah Pemerintahan Orde Baru, jauh sekali dari sistem politik yang dianggap demokratis. Selama enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) diselenggarakan pemilu oleh rezim Soeharto, peluang untuk memberdayakan rakyat terbelenggu oleh perangkat perundang-undangan bidang politik. Lima paket UU bidang politik seperti UU Pemilu, UU Partai Politik, UU tentang Susunan dan Kedudukan DPR/DPRD dan MPR, UU tentang Referendum serta UU tentang Keormasan, semua disusun untuk mengendalikan hak-hak politik rakyat. Secara eksplisit Penjelasan UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu menyebutkan bahwa, sampai dengan tiga kali perubahan UU No. 15 Tahun 1969 "….pada hakikatnya tidak mengubah dasar pikiran, tujuan, asas,dan sistem pemilihan umum dalam UU tersebut, tetapi bertujuan untuk menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan keadaan‖ (Padmosugondo,1988:27-28). Menurut Indria Samego, keberhasilan Pemerintah Orde Baru sebagianbesar disebabkan oleh begitu efektifnya ketentuan perundangan tersebut, sehingga baik kebebasan sipil dan politik rakyat secaraindividual maupun partai politiktidak memiliki kemerdekaan untuk mengembangkan fungsinya. Pemilu selama periode 1971 hingga 1997 telah menjadi sarana pelanggengan kekuasaan dan legitimasi Pemerintah Orde Baru (Indria Samego: 1998:5).
Pemilu 1999 yang diselenggarakan setelah mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 membawa sejumlah harapan baru demokratisasi politik. Hanya dalam waktu kurang dari lima bulan sejak 21 Mei 1998, telah lahir lebih dari 80 partaipolitik besar dan kecil. Selain itu, rakyat pun seolah-olah mendapatkan kebebasan untuk mengekpresikan kehendaknya yang selama lebih tiga dasa warsa terjengkang di dalam rezim otoriter. Karena kebebasan tersebut, hampir setiap hari berbagai berita unjuk rasa disuguhkan media massa. Tidak hanya di Jakarta, masyarakat di daerah-daerah mulai menunjukkan keberaniannya terhadap praktik politik aparat negara yang menurut mereka diwarnai olehfenomena kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Pemilu 1999 yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1999 telah menandai babak baru perubahan dalam mesin pemilu di Indonesia, yang berbeda dengan pemilu masa orde baru. Pemilu 1999 telah menggeser dominasi pemerintah sebagai aparatur negara ke dalam bentuk pemerataan partisipasi partaipolitik dan rakyat di dalam penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan sistem pemilu selama orde baru, di dalam sistem pemilu 1999partaipolitik mempunyai hak terlibat secara intensif dalam proses pemilu sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk, sehingga diharapkan mampu berfungsi sebagai otoritas pengatur pemilu yang independen. Sebagai perbandingan, Lembaga Pemilihan Umum (LPU) adalah sebuah tim yang terdiri dari para menteri, yang selalu terbentur hambatan etis saat berusaha memperlihatkan prinsip-prinsip independensi dan keadilan. LPU tidak pernah mampu sebagai sebuah otoritas pemilu yangindependen, mengingat anggotanya semua adalah pegawai negeri yang selalu dibebani kewajiban untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar).
Pemilu 2004, yang ditetapkan pelaksanaannya pada 5 April 2004, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 3). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu 2004 diberikan peluang amat besar. Hal ini ditandai dengan semakin terbukanya masyarakat untuk menjadi penyelenggara pemilu di dalam KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 18). Cerminan bahwa KPU tidak boleh berasal dari unsur pemerintah atau partai politik antara lain tampak pada persyaratan bahwa seorang anggota KPU adalah orang yang tidak sedang menjadi anggota atau pengurus partaipolitik dan tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri (Pasal 18 butir i dan k).
Jika dicermati dari pemilu 1955, pemilu 1999, dan pemilu 2004 yang diselenggarakan 5 April 2004, tampak ada pergeseran pembangunan politik dan proses pelembagaan politik. Padapemilu 1955 partaipolitikbersama-sama pemerintah menjadi badan penyelengara pemilu. Partai politik cukup kuat melakukan kontrol atas penyelenggaraan pemilu. Pada pemilu sepanjang era orde baru, keterlibatan masyarakat atau partai politik dalam penyelenggaraan pemilu sangat terbatas, bahkan hampir sama sekali tidak ada ruang untuk mengawasi jalannya pemilu. Pemilu menjadi alat legitimasi kekuasaan, melalui Golkar. Barulah pada pemilu 1999, keterlibatan masyarakat melalui partai politik dan organisasi pemantauan dan pengawas independen pemilu diberikan porsi yang cukup besar dalam aturan main pemilu tersebut. Meskipun ada kendala di lapangan, ketika memantau kecurangan perhitungan suara dan pelanggaran lainnya, Pemilu 1999 dianggap lebih baik daripada pemilu selama era orde baru. Penyelenggaraan pemilu 2004 menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat karena baik penyelenggara maupun pengawas pemilu berasal dari masyarakat (bukan dari partaipolitikmaupun bukan dari birokrasi pemerintah).
0 Komentar
Penulisan markup di komentar