Demokrasi Terpimpin tampak merupakan alat untuk mengatasi pertentangan parlementer di antara partai-partai politik ketika berlaku demokrasi liberal. Cara yang dilakukan adalah dengan memberlakukan kembali UUD 1945. UUD 1945 dikenal cenderung menganut sistem campuran atau sering disebut juga sebagai sistem quasi presidentil. Alasannya, karena sistem presidensial juga memasukkan unsur parlementer, yakni berupa pertanggungjawaban presiden kepada MPR; tidak langsung kepada rakyat sebagaimana umumnya pada sistem presidensial.
Bagi Soekarno, demokrasi parlementer dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Soekarno juga menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dalam masyarakat Indonesia. Sebagai presiden Soekarno membentuk kabinet yang erdana menterinya adalah presiden sendiri. Soekarno kemudian juga membentuk DPR–GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai lembaga perwakilan rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante. Bagaimana hubungan presiden dengan DPR–GR? Meskipun DPR–GR periode demokrasi terpimpin telah berhasil menghasilkan 124 produk undang-undang dan pernyataan pendapat namun kedudukannya tetap lemah. Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama, anggota DPR–GR dipilih dan ditunjuk Soekarno dari mereka yang dipercaya loyal kepadanya. Kedua, Presiden Soekarno masih suka membuat Penpres, suatu produk peraturan yang sederajat dengan undang-undang. Dengan perkataan lain telah terjadi pergeseran hubungan parlemen dengan pemerintah. Jika pada berlakunya demokrasi liberal parlemen menekan pemerintah, ketika demokrasi terpimpin parlemen memberikan kelonggaran begitu besar bagi pemerintah. Pada masa pemerintahan Soekarno ini dikenal dengan demokrasi terpimpin. Soekarno mengemukakan demokrasi terpimpin sebagai demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki liberalisme dan tanpa otokrasi diktator.
Demokrasi kekeluargaan yang dimaksud oleh Soekarno adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral di tangan seorang ‗sesepuh‘, seorang tetua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin dan mengayomi. Yang dimaksud dengan tema-tema ‗sesepuh‘ atau ‗tetua‘ pada waktu itu tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia.
Seperti telah disinggung di atas, di bawah demokrasi terpimpin yang kekuasaannya terhimpun pada Soekarno, ada dua kekuatan lain, yaitu Angkatan Darat dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Gambaran hubungan antara ketiganya dapat dikemukakan sebagai berikut. Soekarno dibutuhkan oleh PKI untuk menjadi pelindung melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk memberi legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik. Soekarno sendiri membutuhkan PKI dan Angkatan Darat. Angkatan Darat dibutuhkan untuk dihadapkan dengan PKI untuk menghambat agar tidak menjadi terlalu kuat. PKI dibutuhkan untuk menggerakkan dukungan rakyat dan mendapatkan massa yang besar untuk mendengarkan pidato Soekarno.
Dalam pola hubungan yang demikian, Soekarno menjadi penyeimbang antara PKI dan Angkatan Darat. Atau semacam pola hubungan ―tarik tambang‖. Pola hubungan itu dapat dilihat seperti yang dipaparankan oleh ahli politik Afan Gaffar (2002) berikut ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara Angkatan Darat dan Presiden Soekarno adalah menyangkut hubungan dengan PKI dan hal itu sesungguhnya bersifat ideologis. Angkatan Darat yang sangat banyak dipengaruhi oleh Hatta dan sejumlah partai Masyumi memiliki posisi antikomunis yang sangat kental, sementara Soekarno dapat menerima komunis karena ia menganggapnya bukan sebagai ancaman. Tambahan pula, Soekarno sangat membutuhkan kaum komunis agar agenda politiknya dapat diwujudkan. Sementara itu, Soekarno tidak memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan Angkatan Darat dibandingkan dengan Angkatan Udara. Oleh karena itu, Soekarno tidak pernah merasa aman terhadap Angkatan Darat.
Peristiwa G–30 S/PKI tahun 1965 mengubah perjalanan politik bangsa Indonesia dan menyingkirkan Soekarno dari puncak kekuasaan, kemudian mengantar Soeharto menjadi seseorang yang sangat berkuasa dengan memanfaatkan secara maksimal UUD 1945 untuk kepentingan politiknya selama 32 tahun.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar